Subscribe

RSS Feed (xml)



Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 14 September 2008

Membangun Rumah didunia VS Bangun Rumah Masa Depan di Surga...!!

Tertipu Kehidupan Dunia dan Melupakan Akhirat.....!

Memilih.....ya suatu pilihan ketika kita sudah bertekat untuk mewujudkan keluarga sakinah....apakah hanya rumah yang mewah, bertingkat, serba lengkap isinya yang kita inginkan....??? Tentu anda sekalian mengatakan "TIDAK", sebab rumah dunia hanyalah sementara, meminjam pernyataan yang sering dilontarkan saudara saya..he..he... "Keinginan Reoni dan berkumpul di Syurga bersama semua anggota Keluarga" Subhanalloh, sungguh cita-cita yang mulia ketika hal tersebut berusaha kita wujudkan.....
bagaimana caranya.....??? dari suatu pengajian saya dapatkan ilmu ini...semoga dapet bermanfaat bagi kita...

Tertipu Kehidupan Dunia dan Melupakan Akhirat!

Banyak manusia yang tertipu oleh kehidupan dunia. Mereka bekerja begitu keras bahkan sampai 12 jam lebih sehari hanya untuk kebahagiaan di dunia. Namun sayangnya banyak yang tidak menyisakan setengah jam pun untuk kehidupan akhirat dengan zikir dan beribadah kepada Allah.

“(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka.” Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” [Al A’raaf:51]

Bahkan ada yang tidak mau mengingat Allah sama sekali dan menganggap kehidupan akhirat hanyalah kebohongan yang hanya dipercaya oleh orang-orang yang fanatik agama.


Mereka tahu kematian pasti menimpa siapa saja. Namun mereka tidak pernah mengingat mati dan tidak percaya pada kehidupan sesudah mati.


“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” [Faathir:5]


Padahal akhirat itu adalah janji Allah yang benar.


“Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayatKu dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? Mereka berkata: “Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri”, kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.” [Al An’aam:130]


Banyak orang yang menumpuk harta dan berbangga tentang banyaknya harta dan anak. Padahal hidup manusia di dunia rata-rata tidak lebih dari 70 tahun. Setelah itu mereka mati dan masuk ke dalam lobang kubur. Jabatan, Harta dan anak tak berguna lagi bagi mereka ketika sudah dikubur.

Bagi yang tidak mau mengingat Allah dan melalaikan sholat, ada siksa kubur yang menunggu mereka:

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Al Haddid:20]


Jadi, tetaplah bekerja. Namun jangan melupakan akhirat. Bagaimana pun juga akhirat lebih baik dan lebih kekal. Akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya. Dunia hanya sekedar tempat kita lewat. Tempat kita untuk bekerja dan beribadah sehingga memiliki bekal yang cukup untuk di akhirat.

Menyikapi Hidup, Meraih Bahagia

Setiap orang menginginkan hidup bahagia. Berbagai cara dilakukan agar kebahagian itu
dapat diraih. Ada yang dengan cara bekerja keras mengumpulkan harta sebanyakbanyaknya,
mendapatkan kedudukan dan kekuasan tertinggi, atau dengan cara
mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya. Namun di sisi lain berbagai problematika hidup
dihadapi. Keterpurukan sering menimpa tiba-tiba. Bencana, musibah, cobaan dating silih
berganti tatkala keberhasilan itu hendak diraih. Atau terkadang baru saja kesenangan itu
diraih, seketika kemudian musibah menghadang menyesakkan dada. Ada yang mampu
bertahan menghadapi pahitnya derita, tetapi banyak pula yang kecewa, prustasi, putus asa,
tidak mampu menghadapi derita itu. Ada yang mampu menghadapi hidup dalam kondisi
senang dan susah. Tapi banyak pula yang tidak mengerti apa yang mesti dilakukan ketika
mendapat kesenangan dan bagaimana pula bila mendapatkan kesusahan.

Sesungguhnya Allah telah memuliakan anak cucu Adam sejak awal ia dilahirkan (Q.S.
al-Isra/17: 70). Dia dimuliakan dalam penciptaannya dari makhluk-makhluk lainnya.
Dimuliakan karena disamping diberi bentuk fisik yang sempurna, dia diberi pula akal
untuk berpikir dan hati untuk dapat merenung dan mengkhayati. Namun pada
perkembangannya, dia tidak selamanya mampu mempertahankan kemuliaan itu.

Terkadang dapat mempertahankan bahkan meningkatkan kemuliaan itu sampai kepada
derajat taqwa (Q.S. al-Hujurat/49: 13, al-Shafat/37: 42, al-Ma’arij/70: 35Yasin/36: 27).
Tapi banyak pula yang terpuruk, jatuh ke lembah kehinaan, lebih hina dari makhluk Allah
yang paling hina sekalipun (Q.S.al-Tin/95: 5, al-Shafat/37: 98, al-A’raf/7: 179, al-
Isra’/17: 72, al-Furqan/25: 34, 44). Hal itu karena anak Adam itu tidak mampu menjalani
hidup dengan baik. Dia mensikapi hidup secara bodoh. Hidup akhirnya menjadi hampa
tak bernilai.

Perumpamaan Hidup

Al-Quran menggambarkan kehidupan dunia ini seperti air hujan yang turun dari langit
(Q.S. Yunus/10: 24). Buya Hamka menjelaskan (Tafsir Azhar, juz 11: 206) bahwa
kedatangan hujan itu diharapkan manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Semua
bergantung kepada hujan. Ketika lama tidak turun hujan, kemarau panjang, tanah tandus
dan gersang, tiba-tiba terdengar petir, dan nampak awan gelap bergumpal, harapan pun
timbul. Ketika hujan deras datang, maka kegembiraan muncul. Tumbuh-tumbuhan, baik
rerumputan, sayuran, dan tanaman yang tadinya kering layu, menjadi hijau subur,
mendapatkan nafas baru. Padi, kacang, timun, ketela, pisang dan lain-lain sebagai makan
manusia kelihatan subur dan memberi harapan. Rerumputan, makanan binatang, telah
menghijau sehingga kambing, sapi, biri-biri, kerbau, yang selama ini kurus kering kurang
makan, sekarang telah makan dengan asyiknya dan tidak berhenti memamah biak.
Manusiapun bergembira dengan kedatangan hujan itu.

Namun ketika padang tandus telah menghijau, padi telah mengandung isi, lada,
terung, tebu, dan semua tanaman mendekati masa panen Ketika petani telah menaksir
keuntungan ladangnya yang akan berlipat ganda, membayangkan kegembiraan karena
akan bisa membeli yang patut dibeli, pakaian lusuh akan terganti, rumah rusak akan
diperbaiki, alat pertanian akan diperbaharui, semua keinginan akan terpenuhi. Tiba-tiba datang hujan yang terus menerus tanpa henti. Hujan lebat satu hingga dua hari tidak
putus-putus, maka datanglah banjir atau air bah, menggenangi sungai, tanggul jebol, tanah
longsor, air naik hingga beberapa meter mengenai ladang yang penuh tanaman siap petik.
Semua telah jadi lautan. Bahkan rumah pun tenggelam. Penghuninya mengungsi atau naik
ke atap rumah. Binatang peliharaannya hanyut terbawa deras arus banjir. Ayam dan itik,
kambing dan sapi, semuanya habis disapu air. Dalam beberapa saat, banjir itu
menghancurkan segala yang dimiliki. Tidak hanya tanaman di sawah ladangnya yang
hanyut, sawah ladangnya pun turut rusak tertimbun pasir maupun tanah. Semuanya
rusak.

Kehidupan dunia jangan terlalu dipergantungi. Harapan jangan digantungkan kepada
perhiasan dunia. Padi yang masih di sawah belum tentu kita yang punya. Kekayaan yang
sekarang ada belum tentu untuk kepentingan kita. Kita sering bekerja keras menumpuk
harta, padahal harta yang ditumpuk itu belum tentu jadi milik kita. Banyak orang yang
terlalu menyangkutkan hati kepada perhiasan dunia sehingga lupa akhirat. Atau terlalu
percaya kepada kekuatan sendiri, hingga lupa kepada kekuatan Allah. Sering manusia itu
lupa akan tujuan jangka panjangnya. Hati terpaut kepada yang fana lupa kepada yang
Baqa’. Cinta dunia melampaui batas hingga lupa persiapan akhirat. Bila perhiasan dunia
yang jadi ukuran, maka kekecewaan belaka yang akan didapat bila gagal memperolehnya.
Memandang Kehidupan Secara Optimis

Ada orang yang ingin melarikan diri dari kehidupan dunia tidak mau menghadapi
tantangan zaman. Bermaksud uzlah, mengundurkan diri dari gemerlapnya hidup yang
penuh fitnah dan cobaan. Cita-citanya kandas. Ilmu yang ingin diraih gagal. Harta dan
usaha yang digarap bangkrut dan jatuh pailit. Kekuasaan yang hampir saja diraih, gagal
dan hancur dikalahkan oleh musuh-musuh politiknya. Hidup jadi pedih dan menderita.
Ingin rasanya tidak lagi berurusan dengan kehidupan dunia. Menjauhkan diri dari
keramaian karena dalam pandangannya dunia ini kejam, buruk, kesengsaraan, dan penuh
kemaksiatan.

Pada masa Rasulullah ada segolongan sahabat utama ingin mengadakan uzlah. Bagi
mereka menikah akan menghasilkan kesengsaraan karena gagal membangun rumah
tangga, makan dan minum dapat melupakan diri mengingat Allah, tidur akan mengurangi
berbakti kepada Allah. Maka mereka bertekad untuk tidak menikah, terus berpuasa, dan
tidak tidur, menjauhi dari segala keinginan duniawi. Namun Rasulullah mengatakan:
“Saya lebih taqwa daripada kamu, tetapi saya pun puasa, dan saya berbuka, saya tidur dan
saya pun shalat, dan saya tidur dengan istri saya”.

Buya Hamka melihat bahwa uzlah adalah sikap yang tidak berani, atau hendak
melepaskan diri seorang ke tempat yang selamat. (Hamka, Iman dan Amal Shaleh, 1984:
83). Kalau kita melihat kehidupan dari sisi yang gelap, semuanya akan menjadi gelap. Tapi
kalau kita melihat dari sisi yang terang, semuanya akan menjadi terang. Ketika penyakit
hati telah mewarnai kehidupan; hasad dan dengki ada dimana-mana, saling musuh
memusuhi, moral tidak ada nilainya, penghargaan kepada orang bukan karena budi
bahasanya, tapi karena rumah, mobil, dan hartanya. Maka kita merasa bingung rasanya tidak ada lagi sinar kebaikan di negeri ini. Pandangan serba hitam dalam hidup tidak
menyelesaikan masalah.Hilangkan buruk sangka terhadap hidup. Di masyarakat tidak
semuanya jahat belaka. Di dalam buruk ada baik. “Sesungguhnya bersama dengan kesukaran itu
terletak kemudahan”. (Q.S. al-Syarh/94: 5-6). “Allah menginginkan kemudahan darimu dan
tidak mengingkan kesukaran”. (Q.S. al-Baqarah/2: 185). “Allah akan menjadikan setelah
kesukaran itu suatu kemudahan”. (Q.S. al-Thalaq/65: 7).

Bila kita melihat sisi putih kehidupan ini, maka sesungguhnya masih banyak kebaikan
dalam masyarakat kita. Di samping duka yang kita derita, masih banyak kenikmatan yang
kita rasa. Di samping musibah yang menimpa keluarga, masyarakat, dan bangsa kita,
masih banyak nikmat, karunia, dan rahmat Allah yang kita terima. Buya Hamka dalam
pertemuannya dengan Haji Agus Salim di rumahnya pada Hari Raya berceritera, bahwa di
antara tamu yang hadir di rumah itu meminta pendapat kepada Haji Agus Salim tentang
situasi krisis yang terjadi. Dengan sangat optimis, Haji Agus Salim menjelaskan, bahwa
kini kita dapat berbicara dengan leluasa dan bebas, tidak merasa takut sedikitpun
menyatakan yang terasa di hati. Kalu dulu tidak ada keamanan, kini keamanan itu ada
pada kita. Kita aman karena ada polisi yang menjaga keamanan sekeliling kota ini. Kita
tidak mengenal polisi itu, karena kita tidak perhatian kepada mereka. Tapi mereka itu
mengatur lalu litas dengan sungguh-sungguh. Dalam panas terik mereka berdiri tegak,
dalam hujan lebat mereka menjalankan tugas sesuai dengan tugas yang dibebankan
kepada mereka. Coba hitung, berapa gaji mereka, tapi mereka menjalankan tugasnya
dengan baik. Oleh karena itu moral masih ada. Lebih lanjut, Haji Agus Salim mengatakan
bahwa akhlak masih ada dan utuh. Jika kita melihat ada korupsi dan kecurangan pada
kantor-kantor pemerintah, tapi kita juga melihat bahwa di sana masih lebih banyak yang
tidak berbuat korupsi, yaitu para pegawai setia. Gaji mereka kecil, anaknya banyak tapi
mukanya masih tetap dihiasi dengan senyum kepatuhan. Mereka masuk ke kantor dengan
pakaian kemeja yang itu-itu juga. Karena kesetiaan dan akhlak mereka yang belum rusak,
maka administrasi pemerintah Republik ini masih utuh dan dapat dilanjutkan. Beliau juga
mengisahkan tentang kehidupan para sopir mobil para pejabat, yang hingga larut malam,
memikul tugasnya, tentang istri-istri yang setia, anak-anak yang tekun belajar hingga larut malam. Kalau sekiranya tidak ada orang yang ikhlas dalam perjuangan, tentu tidak akan tercapai kemerdekaan negara ini. (Hamka, 1984: 86-87).

Apa yang dikisahkan Buya Hamka tentang pertemuannya dengan Haji Agus Salim
dimaksudkan untuk mendidik kita agar memperhatikan yang baik di dalam yang buruk.
Beliau mendidik kita untuk tidak selalu melihat baik atau buruk sesuatu yang ada di luar
sana. Beliau hendak mengajak kita supaya menilik ke dalam jiwa kita sebelum melihat
sesuatu. Buya Hamka lantas memberikan pertanyaan-pertanyaan. Dari mana kita
mengetahui adanya krisis akhlak ?. Jawabnya: dari masyarakat. Apakah masyarakat itu ?.
Masyarakat adalah gabungan dari pribadi-pribadi. Adakah suatu pribadi yang semata-mata
jahat saja ?. Adakah pribadi yang semata-mata baik saja ?. Apakah kita sendiri termasuk
pribadi yang semata-mata baik saja ?. Mari kita periksa pribadi kita dengan penuh
kesadaran dan kearifan. Memang pribadi kita tidak semata-mata baik, suci, bersih,
berhasil, dan sukses.

Manusia itu cacatnya amat banyak. Tidak ada satu pribadipun yang lepas dari cacat.
Cuma ada yang ringan ada yang berat, ada yang tidak dapat ditolong bahkan ada yang
sampai stress, linglung, dan gila. Berbagai resep dan obat dibuat untuk menekan atau
megurangi penyakit itu. Setiap pribadi mempunyai naluri ingin kaya, ingin berkuasa, ingin
berpengaruh, dan ingin terkenal. Karena tidak mampu mengendalikan, naluri itu menjadi
penyakit. Kalau kita mencela orang lain karena berbuat aniaya dan tidak adil, apakah kita
dapat menjamin bahwa setelah berkuasa kita tidak berbuat aniaya ?. Buya Hamka dalam
hal ini ingin mengajak kita agar proporsional dalam melihat sesuatu, mengedepankan
semangat ishlah (membangun), bukan semangat saling menyalahkan. Beliau mengajak kita
untuk berpikir positif bahwa di sana masih ada harapan dalam keterpurukan hidup yang
sedang melanda kita. Jangan pernah putus harapan, putus cita-cita, untuk membangun
khair ummah (umat terbaik) menuju kejayaan Islam. Caranya adalah memulai dari ishlah
(membangun dan memperbaiki) pribadi sendiri, kemudian dilanjutkan dengan ishlah
masyarakat, bangsa dan negara.

Pengendalian Diri

Agar kebahagian itu dapat diraih, maka Buya Hamka memberikan penjelasan agar kita
mampu mengendalikan hawa nafsu, tidak memperturutkan hawa nafsu apalagi sampai
mempertuhankannya. Ketika kesuksesan diraih; harta benda melimpah, ilmu tinggi
didapat, dan kekuasaan dipegang, maka seseorang mestinya mengendalikan dirinya untuk
tidak mabuk, sombong dan congkak. Ketika keterpurukan menimpa dirinya; kegagalan,
kebangkrutan, dan bencana menimpa, dia mampu mengendalikan diri untuk tetap tabah,
tawakkal, sabar, dan mencoba bangkit kembali.
Dalam menafsiri ayat 23 Surat al-Jatsiyat, tentang orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya, Buya Hamka menjelaskan bahwa orang yang menjadikan
hawa nafsu sebagai tuhannya, maka Allah akan menutup (menyegel) pendengaran,
penglihatan, dan hatinya sehingga tidak dapat meraih kebenaran hakiki. Dia tidak
sanggup lagi menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Dia menjadi seorang yang
gelap mata, mengerjakan sesuatu tanpa kendali. (Hamka, juz 25: 132-133).
Dicontohkan, bahwa orang-orang kafir Quraisy tidak mau beriman kepada Nabi
Muhammad, karena mereka memperturutkan hawa nafsunya pantang merendah kepada
beliau. Begitu pula kaum Yahudi dan Nasrani tidak mau mempercayai kenabian
Muhammad SAW karena pengaruh hawa nafsu yang tak terkendali dengan terus
memperturutkan hawa kedengkian dan kebencian. (Hamka, juz 15: 133). Oleh karena itu
kebinasaan yang mereka dapatkan dan kehinaan yang mereka temukan.
Kemampuan mengendalikan diri menjadi prasarat bagi terwujudkan
kebahagiaan hidup. Mampu menahan nafsu dalam senang dan susah.
Bersyukur ketika senang dan bersabar ketika susah. Moga kita semua
termasuk orang-orang yang terus berupaya mengendalikan nafsu, agar
keseimbangan hidup dapat diraih, yang pada akhirnya kebahagiaan hidup
di dunia dan akhirat yang kita dapatkan.

Permohonan maaf, jika tulisan ini tidak berkenan bagi saudara,,....ataupun kualitasnya kurang bagus....maka dari itu saran yang membangun kami nantikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis tanggapan or komentar Anda pada form dibawah ini, semoga bermanfaat...jazakallah....